Belakangan, perbincangan soal “Dark AI” menjadi viral. Di balik manfaat besar Artificial Intelligence (AI), teknologi ini juga menimbulkan kekhawatiran. Dark AI identik dengan pemanfaatan kecerdasan buatan untuk tujuan merugikan, ilegal, atau melanggar etika.
Apa Itu Dark AI?
Dark AI dimanfaatkan penjahat siber untuk membuat deepfake, serangan otomatis, manipulasi opini publik, hingga penyalahgunaan data pribadi. Tidak seperti AI konvensional yang dikembangkan untuk tujuan etis, teknologi ini hadir tanpa batasan moral.
Dengan kemampuannya yang adaptif, Dark AI mampu mengeksploitasi kerentanan infrastruktur digital, menyusup ke sistem, dan melancarkan serangan berskala luas. Dampaknya sering kali tidak langsung disadari hingga kerusakan besar terjadi.
Baca juga: Ancaman Serangan Siber oleh AI Independen Tanpa Instruksi Manusia
Contoh Nyata: FraudGPT
Salah satu bukti nyata hadir pada Juli 2023, ketika ditemukan FraudGPT di dark web. Model AI generatif ini dirancang khusus untuk mendukung kejahatan siber: menulis kode berbahaya, membuat phishing page, mengembangkan malware sulit terdeteksi, hingga menyusun ransomware.
FraudGPT menandai era baru serangan siber yang lebih cepat, canggih, dan berbahaya.
Dampak terhadap Keamanan Siber
Kemunculan Dark AI mengharuskan dunia memiliki kesadaran lebih tinggi terhadap cybersecurity, penerapan teknologi pertahanan canggih, serta kolaborasi erat antar-institusi keamanan. Regulasi yang mewajibkan kepatuhan di setiap level — upstream, midstream, hingga downstream — menjadi kunci pertahanan.
Bagi negara dengan jumlah pengguna internet besar seperti Indonesia, risiko meningkat karena sebagian masyarakat masih memiliki literasi digital rendah. Namun, inovasi AI tidak boleh berhenti hanya karena ancaman ini. Justru pengembangannya perlu diarahkan untuk melawan Dark AI itu sendiri.
AI dan Inklusi Digital
Forum Ekonomi Dunia mencatat peningkatan 10% akses broadband dapat mendongkrak pertumbuhan PDB negara berkembang hingga 1,4%. Dengan pengelolaan tepat, AI pun bisa menjadi pendorong inklusi digital, memperluas akses ekonomi, mendorong inovasi, dan membuka lapangan kerja baru.
Sayangnya, sekitar 2,6 miliar orang di dunia masih belum memiliki akses internet. Hal ini berpotensi memperlebar jurang kesenjangan digital. Teknologi digital seharusnya menjadi jembatan yang memastikan setiap orang mendapat peluang yang sama.
Tantangan Indonesia
Bagi Indonesia, broadband dan AI harus dipandang sebagai investasi ekonomi, bukan sekadar proyek teknologi. Tantangan utamanya meliputi keterbatasan infrastruktur, mahalnya biaya akses, serta rendahnya keterampilan digital.
Regulasi AI dan broadband di Indonesia idealnya berbasis lima pilar: kemanfaatan, keamanan, kesetaraan, perlindungan masyarakat, dan pengembangan inovasi. Dengan pendekatan ini, AI dan broadband dapat menjadi fondasi pembangunan ekonomi yang inklusif.
Klaus Schwab, pendiri Forum Ekonomi Dunia, pernah menegaskan bahwa revolusi teknologi punya kekuatan untuk mengangkat umat manusia, tetapi juga bisa menghancurkannya. Tantangan Dark AI adalah nyata, namun dengan regulasi tepat, literasi digital yang kuat, dan inovasi berkelanjutan, AI tetap bisa menjadi pendorong kemajuan.
Baca juga: Password Google, FB, Apple, Bocor di Dunia Maya, Jumlahnya Dua Kali Populasi Manusia