
Seorang pria di Amerika Serikat dilaporkan harus menjalani perawatan intensif di rumah sakit selama tiga minggu setelah mengalami keracunan akibat mengikuti saran diet dari kecerdasan buatan (AI) ChatGPT. Kasus ini kembali memunculkan perdebatan tentang batasan penggunaan AI dalam bidang kesehatan, khususnya terkait pola makan dan gaya hidup.
Kronologi Kejadian
Pria berusia 30-an tahun itu awalnya mencari alternatif diet sehat melalui ChatGPT. Ia meminta rekomendasi menu rendah kalori yang dianggap bisa membantu menurunkan berat badan dengan cepat. AI kemudian memberikan daftar menu harian yang terdiri dari kombinasi sayuran, suplemen, serta beberapa bahan makanan fermentasi.
Tanpa berkonsultasi dengan dokter atau ahli gizi, pria tersebut langsung menerapkan pola makan itu secara ketat selama beberapa hari. Namun, bukannya sehat, ia justru mengalami gejala mual, muntah, hingga pusing hebat. Setelah kondisinya memburuk, ia dilarikan ke rumah sakit dan didiagnosis mengalami keracunan makanan serta gangguan fungsi hati.
Dampak yang Ditimbulkan

Tim medis yang menanganinya menjelaskan bahwa salah satu bahan fermentasi yang direkomendasikan ternyata dikonsumsi dalam jumlah berlebihan dan tidak aman bagi kondisi tubuhnya. Akibatnya, sistem pencernaan dan organ hati mengalami kerusakan sehingga ia harus menjalani perawatan intensif selama tiga minggu.
Meski kondisinya kini berangsur pulih, dokter menegaskan bahwa pasien tersebut masih harus menjalani pemulihan panjang dan diet khusus yang benar-benar diawasi ahli gizi.
Reaksi Publik
Kasus ini menjadi viral di media sosial setelah keluarga pasien membagikan pengalaman tersebut sebagai peringatan bagi orang lain. Banyak warganet menyayangkan tindakan pasien yang terlalu percaya penuh pada rekomendasi AI tanpa memverifikasi keamanannya terlebih dahulu. Ada pula yang menilai hal ini sebagai tanda bahwa teknologi AI harus lebih transparan dengan menambahkan peringatan keras pada saran terkait kesehatan.
Sementara itu, sejumlah pakar teknologi menekankan bahwa AI seperti ChatGPT sebenarnya tidak dimaksudkan untuk menggantikan tenaga medis, melainkan hanya sebagai alat bantu informasi. Mereka menegaskan bahwa tanggung jawab akhir tetap ada pada pengguna untuk menyaring dan mengonfirmasi informasi tersebut.
Pelajaran yang Bisa Dipetik
Kasus ini menjadi peringatan bagi masyarakat agar tidak sembarangan mengikuti saran dari AI, terutama dalam hal kesehatan dan diet. ChatGPT maupun platform serupa memang mampu memberikan informasi umum, tetapi tidak bisa menggantikan konsultasi profesional medis.
Pakar kesehatan menekankan bahwa setiap tubuh memiliki kebutuhan gizi yang berbeda, dan diet yang cocok untuk seseorang bisa berbahaya bagi orang lain. Oleh karena itu, sebelum mencoba pola makan baru, sangat penting untuk berkonsultasi dengan dokter atau ahli gizi yang berkompeten.
Selain itu, masyarakat diimbau untuk lebih kritis dalam menggunakan teknologi. Informasi dari internet, termasuk dari AI, sebaiknya dijadikan referensi awal, bukan panduan mutlak. Dengan sikap bijak, teknologi bisa menjadi sahabat, bukan ancaman bagi kesehatan.
BACA JUGA: Merasa ChatGPT Sangat Memahami Kita? Ini Rahasianya