Jakarta, CNBC Indonesia – Para kuli dari Pasuruan tidak pernah membayangkan bahwa lembur mereka pada Minggu malam, 29 Agustus 1909, akan berubah menjadi mimpi buruk. Malam itu mereka bekerja seperti biasa di dekat Kali Besuk, kaki Gunung Semeru untuk menimbun tanggul, memperbaiki rel kereta, dan menata bantalan besi yang rusak.Awalnya semua tampak normal. Namun sekitar tengah malam, suasana berubah drastis ketika suara dentuman keras terdengar dari arah Semeru. Asap tebal mengepul dari puncak, tanda gunung tertinggi di Jawa itu baru saja meletus. Belum sempat mereka memproses kepanikan, teriakan dari tepi sungai membuat mereka membeku.
Dari arah hulu, massa air gelap melaju dengan kecepatan luar biasa. Dalam beberapa detik saja, campuran lumpur, pasir, kerikil, batang pohon, hingga puing rumah-rumah langsung menghantam daratan di sekitar jembatan. Sungai seakan menghilang, menggantikan aliran hitam pekat.”Seperti tsunami raksasa yang muncul,” kata salah satu kuli kepada De Locomotief (3 September 1909).Arus bandang itu menggulung apa saja. Batang pohon sebesar tiang menghantam jembatan. Rumah-rumah di tepi kali terseret tanpa ampun. Arus meluber ke jalan raya, menelan rel kereta dan menimbun bantalan besi.
baca juga : akibat lahar semeru