Fenomena chatbot religi AI sedang naik daun. Aplikasi seperti Bible Chat sudah diunduh lebih dari 30 juta kali, menjadi tempat curhat rohani jutaan orang. Bahkan, tak sedikit pengguna bertanya-tanya apakah suara AI yang mereka dengar benar-benar “suara Tuhan”.

Baca Juga : Google Ubah Aturan, AI Kini Bisa Dipakai untuk Proyek Militer
Chatbot Religi AI Jadi Tren Baru
Penggunaan kecerdasan buatan (AI) kini merambah ke ranah rohani. Tak hanya menjawab pertanyaan umum, chatbot religi AI banyak dipakai orang untuk curhat hingga mencari bimbingan spiritual.
Menurut laporan The New York Times via Arstechnica (22/9/2025), beberapa aplikasi religi berbasis AI mencatat unduhan fantastis. Salah satunya adalah Bible Chat yang sudah dipasang lebih dari 30 juta kali. Ada juga aplikasi Katolik Hallow yang sempat mengalahkan Netflix dan TikTok di Apple App Store.
Aplikasi-aplikasi ini bahkan berani mengklaim menyediakan fitur “komunikasi ilahi”, meski para ahli menegaskan bahwa AI bukanlah entitas spiritual, melainkan teknologi yang menghasilkan jawaban berdasarkan data.
Alasan di Balik Popularitas Chatbot Religi AI
Salah satu alasan utama chatbot religi AI cepat populer adalah kemudahan akses. Banyak orang merasa lebih nyaman bertanya kapan saja tanpa perlu mengganggu pemuka agama mereka.
“Tidak ada yang ingin membangunkan pendeta pada pukul tiga pagi,” ujar Krista Rogers, pengguna aplikasi YouVersion Bible.
Selain itu, gaya percakapan chatbot yang natural membuat sebagian orang terbawa suasana. Bahkan, CEO aplikasi ChatwithGod menyebut pertanyaan paling sering dari pengguna adalah: “Apakah ini benar-benar Tuhan yang sedang berbicara dengan saya?”
Tentu jawabannya tidak. Namun, karena respons AI sering kali terdengar meyakinkan, banyak orang sempat menganggap percakapan itu nyata.
Masalah Teologis dan Sifat “Yes-Men”
Salah satu kritik terbesar terhadap chatbot religi AI adalah kecenderungannya menjadi “yes men”, selalu membenarkan perasaan pengguna. Dalam dunia teknologi, sifat ini dikenal dengan istilah sycophancy.
Ryan Beck, CTO Pray.com, menyebut AI seperti orang yang hanya berkata “iya” pada apa pun. Padahal, dalam bimbingan rohani tradisional, seseorang justru diarahkan menghadapi kebenaran yang mungkin tidak menyenangkan.
Hal serupa ditegaskan oleh Heidi Campbell, profesor di Texas A&M University. Menurutnya, chatbot cenderung hanya memberi jawaban yang ingin kita dengar, bukan yang sebenarnya dibutuhkan.
Privasi Data Jadi Sorotan
Selain persoalan teologis, privasi juga menjadi isu besar. Curhat rohani pengguna tersimpan di server perusahaan, menimbulkan kekhawatiran apakah data sensitif ini bisa disalahgunakan.
Pendeta Katolik Fr. Mike Schmitz bahkan bertanya: “Bukankah ada bahaya besar dalam mencurahkan isi hati kepada chatbot?”
Namun, sebagian pengguna justru merasa lebih nyaman. Delphine Collins, seorang guru prasekolah, mengaku menemukan dukungan lebih besar dari Bible Chat dibanding di gerejanya. Setelah berbagi tentang masalah kesehatan, ia merasa ditinggalkan oleh komunitasnya. “Orang-orang berhenti berbicara dengan saya. Itu mengerikan,” ungkapnya.
Antara Kebutuhan Spiritual dan Komersialisasi
Mayoritas aplikasi chatbot religi AI beroperasi dengan sistem berbayar, biasanya berupa langganan tahunan. Para pembuat aplikasi berargumen bahwa produk mereka bukan pengganti hubungan spiritual, melainkan pelengkap.
Fenomena ini terjadi bersamaan dengan tren menurunnya kehadiran di gereja. Lebih dari 40 juta orang meninggalkan gereja dalam beberapa dekade terakhir. Ryan Beck menegaskan, hal ini bukan berarti orang kehilangan haus rohani, tetapi mereka mencarinya dengan cara berbeda.
Baca Juga : Chatbot AI Meta Bermasalah, Picu Ancaman Keamanan Digital dan Insiden Tragis