
KEPERCAYAAN dan keamanan dalam ruang siber nasional bukan sekadar istilah teknis: keduanya adalah fondasi utama bagi kedaulatan digital Indonesia. Apa artinya kedaulatan jika fondasi kepercayaan digital kita masih bergantung pada tangan asing? Di tengah ketidakpastian global yang semakin kompleks, negara harus mampu menentukan siapa yang patut dipercaya—dan bagaimana kepercayaan itu dibangun serta dikelola secara sistematis. Model lama yang hanya mengandalkan perimeter atau batas jaringan kini sudah usang. Ancaman tidak lagi datang dari luar semata, tetapi juga dari dalam sistem itu sendiri. Karena itu, arsitektur keamanan yang adaptif, berbasis verifikasi, dan berdaya tahan tinggi menjadi satu-satunya pilihan untuk menjamin perlindungan informasi nasional.
Baca Juga : Microsoft Temukan Serangan Siber di Server SharePoint, FBI Turun Tangan
Dalam konteks ini, konsep Zero Trust yang dirumuskan Stafford dalam NIST SP 800-207 (2020) menjadi sangat relevan. Prinsip dasarnya sederhana: never trust, always verify. Setiap akses—baik oleh manusia, mesin, maupun sistem—wajib diverifikasi melalui bukti kriptografis yang sah. Namun, prinsip ini tidak dapat berdiri sendiri. Ia membutuhkan landasan identitas digital yang kokoh dan terpercaya. Di sinilah Root Certificate Authority (Root CA) berperan sebagai trust anchor atau fondasi utama. Root CA memastikan keabsahan semua sertifikat digital yang beredar dalam sistem. Tanpa Root CA, tidak ada validasi; tanpa validasi, zero trust hanya tinggal slogan. Analoginya, Root CA adalah pondasi dari bangunan canggih. Semegah apapun strukturnya, tanpa fondasi yang kuat, seluruh bangunan bisa runtuh sewaktu-waktu.
Model keamanan yang berlapis
Model keamanan berlapis memang memungkinkan segmentasi risiko dan pengawasan yang lebih ketat. Namun, semua itu akan sia-sia jika tata kelolanya tidak dikuasai oleh lembaga nasional yang kredibel. Idealnya, mandat strategis ini diletakkan pada Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN), yang memiliki otoritas dalam bidang keamanan dan kriptografi.