Kebakaran hutan dinilai sebagai ancaman terbesar dalam mewujudkan FOLU Net Sink 2030. Beragam teknologi canggih diterapkan untuk mendeteksi dan mengurangi risiko kebakaran sejak dini.
Rabu, 6 Agustus 2025 16:23 WIB waktu baca 2 menit

Tangkapan layar – Peneliti dan anggota RFMRC-SEA IPB University Robi Deslia Waldi memberikan paparan saat FOLU Talks yang diadakan Kemenhut diikuti daring di Jakarta, Rabu (6/8/2025). ANTARA/Prisca Trifern
Jakarta (ANTARA) – Peneliti IPB University Robi Deslia Waldi mengingatkan kebakaran hutan menjadi ancaman utama mencapai target FOLU Net Sink 2030 dengan strategi yang melibatkan teknologi terus digunakan untuk mencegah dan menanganinya.Dalam diskusi FOLU Talks yang diadakan Kementerian Kehutanan (Kemenhut) diikuti daring di Jakarta, Rabu, Peneliti dan anggota Regional Fire Management Resource Center Southeast Asia (RFMRC-SEA) IPB Univesity menjelaskan sektor kehutanan memiliki peranan besar untuk mencapai pengurangan emisi gas rumah kaca (GRK) Indonesia, dengan pemerintah menargetkan sektor itu mencapai kondisi penyerapan lebih besar dari emisi yang dihasilkan atau net sink -140 juta ton CO2 ekuivalen (CO2e) pada 2030, yang dikenal juga dengan nama FOLU Net Sin 2030.”Maka peran penting semua pemangku kepentingan lainnya, baik di pemerintahan, NGO, pendidikan, masyarakat, generasi muda khususnya, bisa ikut berkampanye terkait menanggulangi, mengendalikan dan mencegah kebakaran hutan dan lahan. Sebab kebakaran hutan ini sangat penting untuk dikendalikan sebagai ancaman utama yang dapat menggagalkan pencapaian FOLU Net Sink 2030,” jelasnya.
Baca Juga : Berita Teknologi
Dia mengatakan penggunaan teknologi terus digunakan untuk mencegah dan menangani kebakaran hutan. Dimulai dari pencitraan jarak jauh untuk memantau titik panas (hotspot) menggunakan satelit sampai dengan pemantauan konsentrasi partikulat 2.5 (PM2.5) untuk melihat kondisi kualitas udara.Tidak hanya itu, kini juga sudah digunakan kecerdasan buatan atau artificial intelligence (AI) untuk memprediksi hotspot berdasarkan cuaca dan tutupan lahan. Bahkan, jelasnya, kini indikasi wilayah terbakar juga sudah bisa dilihat di situs peta yang banyak digunakan masyarakat.Baca juga: Kodam I Bukit Barisan kerahkan 920 prajurit padamkan karhutla di Riau”Remote sensing ini sangat penting untuk melihat bagaimana BNPB dan BPBD untuk menanggulangi dampaknya terhadap masyarakat,” katanya.Tren kebakaran hutan dan lahan memperlihatkan penurunan jika dibandingkan puncaknya pada 2015, ketika 2,6 juta hektare (Ha) areal terbakar di seluruh Indonesia. Sempat naik pada 2019, dengan luas 1,6 juta Ha, jumlah itu terus turun yaitu 296.942 pada 2020, 358.867 pada 2021, 204.894 Ha pada 2022, 1,16 juta Ha pada 2023, dan 376.805 Ha pada 2024.
Sementara untuk tahun ini, data SiPongi milik Kemenhut memperlihatkan indikasi luas kebakaran yang dilaporkan sampai Juni 2025 mencapai 8.594 Ha.
Berita Terkait :
Personel Brimob Polda Riau gugur usai padamkan kathutla di Rokan Hilir
Kemenhut segel 3 perusahaan dengan areal gambut terbakar di Riau
Pemkab HSS Kalsel tetapkan darurat karhutla pasca-muncul 42 titik api