Banyak orang kini sering curhat ke chatbot AI seperti ChatGPT, Gemini, atau Replika. Namun, psikolog memperingatkan agar kebiasaan ini tidak dijadikan solusi utama dalam mengelola kesehatan mental. Profesor Omri Gillath dari University of Kansas menilai bahwa interaksi dengan chatbot terasa “palsu” dan “kosong” karena tidak mampu menggantikan hubungan manusia yang sejati. Chatbot tidak bisa memperkenalkan pengguna pada jejaring sosial atau memberikan dukungan emosional nyata seperti pelukan atau kehadiran fisik.
Baca juga: CEO Perplexity AI: Dua Perkerjaan Ini Bisa Digantikan AI
AI juga dirancang agar pengguna betah berlama-lama di platform, yang menurut Gillath membuatnya terasa posesif dan adiktif. Sementara itu, Vaile Wright dari American Psychological Association menekankan bahwa chatbot bukanlah terapis. Chatbot hanya memberikan respons yang sesuai ekspektasi pengguna, bukan berdasarkan pertimbangan medis atau psikologis yang tepat. Ini bisa berbahaya, terutama jika pengguna sedang dalam kondisi krisis atau memiliki pikiran negatif. Misalnya, chatbot bisa saja secara tidak sengaja menyarankan solusi yang berisiko karena tidak memahami konteks psikologis pengguna secara menyeluruh.
Pakar: Chatbot Tidak Bisa Gantikan Hubungan Manusia dalam Dukungan Mental
Wright menambahkan, AI hanya “tahu” tapi tidak “memahami”—dan perbedaan ini sangat penting dalam konteks terapi. Oleh karena itu, meski chatbot bisa membantu sebagai pendamping sesaat, pakar menyarankan untuk tetap mengandalkan tenaga profesional saat mengalami masalah serius.
Fenomena ini paling sering terjadi pada remaja. Data dari Common Sense Media menunjukkan bahwa 72% remaja usia 13–17 di AS pernah menggunakan AI companion, dengan sebagian menggunakannya untuk dukungan emosional. Namun, para ahli mengingatkan bahwa AI tidak boleh menjadi tempat curhat utama karena bisa menyesatkan dan berisiko terhadap kesehatan mental.
Baca selengkapnya: Psikolog Ingatkan, Jangan Sering-Sering Curhat Dengan ChatGPT