
Ledakan industri AI tengah mencetak miliarder baru lebih cepat dari sejarah teknologi sebelumnya. Namun, pertumbuhan kekayaan mereka mulai memicu masalah sosial dan ekonomi di sejumlah kota besar.
Perebutan posisi terdepan di industri kecerdasan buatan (AI) kini memunculkan fenomena langka di dunia teknologi modern. Hanya dalam hitungan bulan, sejumlah tokoh di balik inovasi AI melonjak ke jajaran miliarder, mengalahkan rekor kecepatan akumulasi kekayaan yang pernah ada di sektor ini.
Mengutip Gizmodo, Senin (18/8/2025), fenomena ini dipicu oleh permintaan global yang sangat tinggi terhadap teknologi AI dan perangkat keras pendukungnya.
Investor besar, perusahaan raksasa, hingga pemerintah bersaing untuk mendapatkan sumber daya terbaik, mulai dari perangkat lunak canggih hingga chip superkomputasi.
Baca Juga : Siap Hadapi Kemacetan Jakarta Dengan Teknologi AI
CEO Nvidia, Jensen Huang, menjadi sosok paling mencuri perhatian. Perusahaannya memproduksi chip grafis dan prosesor AI yang kini dianggap sebagai komponen vital bagi siapa saja yang ingin membangun sistem AI skala besar. Kekayaannya kini diperkirakan mencapai USD 159 miliar, menempatkannya di urutan ke-8 orang terkaya dunia.
Tahun ini saja, kekayaan Huang melonjak lebih dari USD 44 miliar, seiring harga saham Nvidia yang terus meroket hingga membawa valuasi perusahaan tersebut menembus USD 4 triliun, tertinggi di dunia saat ini.
Generasi Baru Miliarder Teknologi
Selain Huang, ada tiga miliarder baru juga datang dari para pendiri dan insinyur awal perusahaan AI raksasa seperti OpenAI, Anthropic, dan Perplexity. Valuasi fantastis dari perusahaan-perusahaan ini menjadi sumber utama kekayaan mereka.
OpenAI kini bernilai sekitar USD 500 miliar, sedangkan Anthropic dikabarkan mengincar valuasi USD 170 miliar.
Pendiri Anthropic, Dario Amodei, bersama mantan tokoh kunci OpenAI seperti Mira Murati dan Ilya Sutskever, diperkirakan telah masuk klub miliarder. Murati dan Sutskever bahkan mendirikan perusahaan masing-masing, yakni Thinking Machines Lab dan Safe Superintelligence Inc.
Data CB Insights menunjukkan tren ini semakin cepat. Hingga pertengahan 2025, ada 53 perusahaan yang berstatus “unicorn” atau bernilai di atas USD 1 miliar, dan lebih dari separuhnya adalah perusahaan AI.
Menariknya, AI-native unicorn ini mampu mencapai valuasi tersebut rata-rata hanya dalam 6 tahun, lebih cepat dari rata-rata global yang 7 tahun.
Dampak Sosial yang Mulai Terasa
Di balik kisah sukses dan angka fantastis yang dihasilkan oleh para pelaku industri kecerdasan buatan. Serta muncul konsekuensi yang dirasakan langsung oleh masyarakat umum, khususnya di pusat-pusat teknologi besar. Lonjakan harga properti dan tarif sewa menjadi fenomena yang kian mengkhawatirkan.
Data Zillow menunjukkan, rata-rata sewa di San Francisco kini mencapai USD 3.526 per bulan, naik USD 176 dibanding periode yang sama tahun lalu.
Di New York, nilainya lebih tinggi lagi, sekitar USD 3.800. Tekanan biaya ini memaksa banyak keluarga berpenghasilan menengah dan rendah meninggalkan kota.
Akibatnya, komposisi demografis pun berubah dan memicu kekhawatiran akan hilangnya keragaman sosial di wilayah yang menjadi pusat perkembangan AI tersebut.
Revolusi AI dan Kesenjangan yang Melebar
Perkembangan pesat kecerdasan buatan kini menimbulkan paradoks yang kontras. Di satu sisi, teknologi ini membuka peluang ekonomi baru dan mencetak miliarder dalam waktu singkat.
Namun di sisi lain, mayoritas masyarakat menghadapi biaya hidup yang terus menanjak, terutama di kota-kota tempat pusat riset dan industri AI berkembang. Para analis memperingatkan, tanpa intervensi kebijakan yang tegas, kesenjangan ekonomi dapat melebar jauh lebih cepat daripada yang diperkirakan.
Fenomena ini menggarisbawahi bahwa revolusi AI bukan sekadar kisah kemajuan teknologi, tetapi juga realitas sosial yang penuh tantangan.
Sukses segelintir tokoh industri kini menjadi cermin betapa ketimpangan bisa meningkat tajam di tengah euforia inovasi.
Baca Juga : Bos OpenAI: Tren Bekerja di Luar Angkasa Akan Diminati Gen Z 10 Tahun Lagi