
Teknologi grafting atau sambung batang pada tomat bisa menjadi solusi adaptasi pertanian di tengah krisis iklim yang makin tak menentu.
Metode ini menyatukan dua jenis tanaman – batang bawah yang tahan stres lingkungan dengan batang atas penghasil buah berkualitas tinggi – untuk mencegah gagal panen akibat banjir, kekeringan, maupun serangan hama.
Peneliti Ahli Madya Pusat Riset Hortikultural ORPP BRIN, Evy Latifah, menjelaskan bahwa teknologi ini sangat bermanfaat terutama pada kondisi ekstrem.
Tomat merupakan komoditas hortikultura bernilai ekonomi tinggi dan kaya nutrisi, termasuk vitamin A, B, C, serta mineral esensial. Namun, fluktuasi harga tomat di Indonesia kerap terjadi karena tanaman ini sangat rentan terhadap perubahan lingkungan.
Baca Juga: Plastik Marak dalam Pertanian, Serasah Tersisih Meski Lebih Ramah Lingkungan
Dengan teknologi grafting, tomat bisa disambungkan dengan batang bawah (rootstock) dari tanaman yang lebih tahan terhadap krisis iklim. Evy merekomendasikan terung sebagai rootstock karena memiliki ketahanan alami terhadap kondisi ekstrem.
Untuk varietas lokal, petani dapat memanfaatkan terung gelatik (Solanum melongena) dan takokak (Solanum torvum). Di balik potensinya yang besar, keberhasilan adopsi teknologi grafting tomat tetap bergantung pada kemampuan petani membaca pasar.
Pasalnya, biaya produksinya 30–50 persen lebih tinggi dibandingkan metode konvensional. Namun, Evy menegaskan biaya ini bisa ditekan dengan penggunaan varietas lokal yang lebih murah dan hasil panen yang lebih tahan lama.
Ia menambahkan, waktu penerapan teknologi grafting menjadi kunci. Jika dilakukan saat produksi melimpah, harga bisa jatuh dan merugikan petani. Sebaliknya, ketika diterapkan saat harga tinggi akibat kelangkaan pasokan, petani bisa meraup keuntungan lebih besar.
Baca Juga: Tanah Terdegradasi, Iklim Memburuk: Pertanian Ramah Lingkungan Jadi Solusi